Rabu, 30 November 2011

KRISIS ENERGI VS KRISIS PANGAN

Diam – diam saat ini sedang berkecamuk perang dahsyat antara energi dan pangan. Ibarat lingkaran setan tak berujung, krisis energi dan pangan terus menghantui dunia. Bagaimana tidak, banyak orang pintar yang dengan kreatifnya mengatasi krisis energi dengan membuat sumber – sumber energi alternatif yang berbahan baku dari produk pangan. Seperti energi alternatif yang di peroleh dari kedelai, ubi, singkong, gandum dan lain – lain. Dampaknya, tentu saja rawan krisis pangan dan harga pangan semakin melambung akibat kelangkaan.
Kedelai misalnya, tembus harga hingga Rp. 7.500/kg dari Rp. 3.450/kg. Maka jangan heran kalau bangsa ini justru bangga disebut “Bangsa tempe” atau dijuluki “bermental tempe”. Karena tempe saat ini termasuk barang mewah. Apalagi bahan bakunya pun impor dari negeri Paman Sam. Mahalnya harga kedelai terjadi akibat pengalihan minyak mentah dengan biofuel oleh Amerika Serikat.
Pada sisi lain, krisis energi memicu kelangkaan bahan bakar yang banyak dibutuhkan oleh industri pangan. Petani membutuhkan solar untuk traktornya, nelayan membutuhkan bahan bakar untuk melaut, dan pabrik pengolahan makanan butuh “pelicin” agar mesinnya bekerja. Maka dari itu kalau BBM kemudian langka dan mahal akan menyebabkan produksi pangan pun terseok – seok hingga mengancam kelangsungan hidup umat manusia.
Organisasi Kerja Sama Ekonomi Pembangunan (OECD) dan Organisasi Pangan Dunia (FAO) memprediksikan, 1 dasawarsa ke depan (2007 - 2016), bakal terjadi perubahan struktur dasar perdagangan komoditas pertanian secara permanent. Perubahan struktur ini akan mengimbas pada pergeseran pola konsumsi produk pertanian dunia. Perubahan pola konsumsi produk serealia akibat terus meningkatnya permintaan kebutuhan bahan bakar alternative dalam bentuk etanol dan biodiesel, mau tidak mau berpengaruh terhadap komoditas pertanian, seperti beras, jagung, gandum, dan kedelai, baik produksi maupun harganya.
Kondisi ini tak dapat dilepaskan dari situasi perpolitikan dan perekonomian dunia, terutama Amerika Serikat. AS yang menyumbang sekitar 30 % dari produk domestic bruto dunia harus diakui masih merupakan perekonomian terbesar, sekaligus juga pusat keuangan dunia. Dengan demikian, analogi “AS bersin, seluruh dunia ikut demam” masih berlaku. AS berusaha “menyelamatkan” diri dari kebangkrutan, dengan merekayasa harga minyak dunia. Selama ini, AS menguasai minyak dari hulu sampai hilir. Mulai dari perdagangan, teknologi eksplorasi, produk derivate bahkan modal. Walhasil kenaikan harga minyak dunia mampu menggelembungkan anggaran belanja AS yang sedang sekarat.
Di sisi lain, dunia pun sedang gencar merekayasa program pengembangan bahan bakar nabati (BBN), yang bersumber dari bahan pangan. Brazil misalnya telah mengkonversi 50 % tebunya untuk menghasilkan etanol. AS memproduksi besar – besaran etanol sekitar 23 % dari produksi jagung. Eropa memperkirakan produksi etanol sebanyak 15 miliar liter pada 2016.
Tingginya kebutuhan jagung, gandum, minyak nabati, tebu dan kedelai, menyebabkan berlakunya hukum ekonomi bagi petani. Komoditas yang paling banyak memberikan keuntungan akan diserbu, sedangkan komonitas lain kurang diminati. Akibatnya akan terjadi tarik menarik antara Food for food or Food for fuel. Lantas bagaimana seharusnya????

Indonesia kaya akan Sumber Daya Alam yang memerlukan adanya kearifan lokal agar terkelola dengan baik. Sayangnya kita belum memiliki suatu standardisasi yang mendasari suatu bahan pangan dapat terukur tingkat keefisienannya apabila dikonversi menjadi energi. Disisi lain dimana kondisi geografis mendukung sehingga menyebabkan tingkat variasi pangan yang sudah teramat banyak dan belum ada yang menonjol dari komoditi pangan yang kita miliki. Hal ini berimbas pada masalah krisis pangan dan krisis energi ini belum menjadi prioritas utama bagi masyarakat Indonesia. Meski demikian yang namanya krisis perlu ditangani dengan kepala dingin. Yaitu dengan fokus pada pemecahan satu masalah dan setelah satu masalah selesai kemudian pemecahan masalah lainnya. Fokus utama yaitu ketahan pangan setelah selesai dengan ketahan pangan yang kuat, lalu dilanjutkan dengan mewujudkan ketahanan energi. [RIA]

0 komentar:

Posting Komentar